Header Ads

Pemikiran Ekonomi Islam Kontemporer

Pemikiran Ekonomi Islam Kontemporer

Apa itu Ekonomi Islam Kontemporer ?
Secara sederhananya, pemikiran ekonomi Islam kontemporer ialah pemikiran ekonomi Islam yang berkembang pada masa kontemporer (secara umum, dimulai pada tahun 1930-an). 
Pemikiran Islam kembali berkembang di masa modern ketika banyak masyarakat, khususnya para pemikir muslim, melihat bahwa sistem kapitalisme maupun sosialisme belumlah memberi solusi atas masalah sosio-ekonomi yang berkembang di masyarakat seperti masalah kemiskinan, terutama krisis pada tahun 1970-an dan 1980-an. Dari sinilah, ekonomi Islam mulai kembali dipelajari sebagai salah satu solusi yang potensial atas masalah sosial ekonomi di masyarakat. Adapun ia mulai dibahas pertama kali pasca masa klasik pada tahun 1976 di Makkah, Saudi Arabia pada The First International Conference on Islamic Economics.

Tokoh Pemikir Ekonomi Islam Kontemporer
Adapun para ekonom Islam kontemporer yang akan dibahas antara lain:

1. Muhammad Nejatullah Siddiqi
2. Syed Nawab Haider Naqvi
3. Muhammad Baqir As Sadr
4. M. Akram Khan
5. Muhammad Abdul Mannan
6. Monzer kahf
7. Sayyid Mahmud Taleghani
8. M.Umer Chapra
9. Abu Saud
10. Anas Zarqa
11. Masdul alam Choudury


A. Pemikiran Muhammad Nejatullah Siddiqi
Siddiqi lahir di Gorakhpur, India, pada tahun1931. Ia sendiri merupakan lulusan dari Muslim University di Aligarh di bidang ekonomi. Karyanya, yakni Some aspects of Islamic Economy dan The Economic Enterprise menjadi karya penting bagi ekonomi Islam mengingat belum banyak pembahasan ekonomi islam yang komprhensif di masa itu.

Adapun poin penting dari pemikirannya antara lain:
1. Paradigma Al-Qur’an dan Asumsi dasar
Bagi Siddiqi, Al-qur’an-lah yang telah memberi paradigma yang jelas bagi Ekonomi Islam.(Hal 42, ga diketik soalnya banyak)
Paradigma Al-Qur;’an inilah yang menjadi dasar berpikir siddiqi dalam membahas Ekonomi Islam. Baginya, pendekatan “rational Economic man” (manusia itu makhluk ekonomi  yang rasional) menurut ekonom klasik maupun neoklasik boleh dibilang hanya sebatas khayalan sebab apa yang disebut sebagai ‘hukum’ perilaku manusia yang didasari rational economic man ternyata tidak bisa bersifat universal. Hukum ini bergantung pada manusia yang memakainya, tata nilai mereka, dan waktu atau ruang.  Yang paling cocok adalah “Islamic man” yang altruistik.

2. Terkait Sistem Ekonomi Islam
Bagi Siddiqi, sistem ekonomi Islam yang dapat berjalan dengan semestinya adalah sistem ekonomi  yang menjalankan tatanan islam dalam perekonomian. Sestidaknya mengimplementasikan hal-hal berikut:
 -Hak yang relatif dan terbatas bagi Individu, Masyarakat, dan Negara

 -Hak (kepemilikan) atas suatu sumber daya maupun alat produksi mesti dibagi secara proporsional  kepada individu, masyarakat, dan negara.

-Peranan Negara yang positif dan aktif

-Implementasi zakat dan penghapusan Riba 

- Bagi Siddiqi, zakat penting diimplementasikan secara efisien karena pada hakikatnya ia memang hak yang mesti dimiliki oleh pihak yang lemah, bukan karena impian altruistik semata. Adapun soal riba, bagi Siddiqi, semua riba itu mesti dihapuskan dan menyarankan agar diganti dengan mudhbarah 
Adanya jaminan atas kebutuhan dasar manusia
Ekonomi Islam mestilah menjamin upaya pemenuhan kebutuhan dasar manusia sebagai syarat utama menuju kesetaraan sosial.

3. Distribusi
Siddiqi mengkritik sistem ekonominkonvensional karena memeperlakukan distribusi sebagai konsekuensi permintaan dan penawaran( distribusi ada karena ada dua hal tersebut). Alasannya, hal itu menciptakan khayalan bahwa masyarakat melakukan permintaan atas apa yang inginmereka konsumsi. Padahal, bagi Siddiqi, permintaan itu dibatasi atau ditentukan oleh distribusi awal pendapatan dan kekayaan. Oleh karena itu, distribusi mesti dipelajari dan dikoreksi “dari sumbernya”, bukan hanya sekedar mengatakan saja seperti yang terjadi dalam pemikiran neoklasik.  Disini Siddiqi menekankan bahwa distribusi pendapatan dan kekayaan awal tidaklah seimbang serta tidaklah adil, inilah yang menjadi asumsinya mengapa negara turut campur dalam perekonomian di samping berupaya pemenuhan kebutuhan dan mempertahankan praktik-praktik pasar yang jujur.


B. Pemikiran Syed Nawab Haider Naqvi
Beliau sendiri dilahirkan di Pakistan pada 1935. Ia mnempuh pendidikan di As dengan memperoleh gelar master di Universitas Yale dan Ph.D. dari Universitas Princeton. Serupa dengan Siddiqi, meskipun bisa menerapkan beberapa analisis ekonomi neoklasik dalam ekonomi Islam, ia tetap tak dapat dilakukan menurut ctakan neoklasik. Kontribusi penting bagi ekonomi Islam ini termuat dalm karyanya, yakni Ethics and economics: An Islamic Synthesis.
Adapun pemikiran pentingnya antara lain:

1. Tema besar politik Islam
Ada tiga tema besar yang mendominasi pemikiran Naqvi dalam ekonomi Islam. Pertama, kegiatan ekonomi dilihat sebagai suatu subse5t dari upaya manusia yang lebih luas untuk “mewujudkan masyarakat adil berdasarkan prinsip etika ilahiah, yakni  al-‘adl wa l-ihsan’. Kadua, melalui prinsip al-‘adl wa l-ihsan’, ekonomi Islam memerlukan suatu ‘bias’ (bias yang mencerminkan penekanan atas keadilan/egalitarianisme) yang melekat dalam kebijakan yang memihak kaum miskin dan yang lemah secara ekonomis.
Aksioma Ekonomi Islam
Baginya, ekonomi Islam mesti memuat nilai-nilai filsafat islam, yang ia cetuskan dalam empat aksioma terpisah namun saling berkait satu sama lain. Yakni kesatuan, keseimbangan, kemauan bebas, dan tanggung jawab
Aksioma kesatuan,  sederhananya ia menjelaskan tentang kegiatan ekonomi itu berkait erat dengan lingkungan etika manusia dalam satu kesatuan. Hal ini mementuk dimensi vertikal kegiatan ekonomi dan ‘memiliki jangkauan konsekuensi yang jauh terhadap perilaku ekonomi.
Aksioma Keseimbangan, sederhananya ia berkaitan erat dengan nilai tauhid kdalam melakukan kegiatan ekonomi dan ia mesti ditegakkan di semua lingkup kehidupan sosial dengen penuh perjuangan.
Aksioma Kemauan bebas, sederhananya ia merupakan basis dasar dari ekonomi dimana ia dapat berjalan ketika seseorang memperoleh kebebasan yang disertai nilai altruisme.
Aksioma tanggung jawab, sederhananya ia diperlukan untuk membatasi kebebasan, setidaknya ditujukan untuk mencapai keadilan dalam kegiatan ekonomi.
Namun agak berbeda dari Siddiqi, ia kurang membahas terkait Islamic Man yang menurutnya agak sulit ditemui pada realitanya, dimana manusia cenderung egois. Karena, cenderung egois disertai rasa eksploitatif inilah, bagi Naqvi, negara hadir dalam perekonomian.

Sistem Ekonomi Islam bagi Naqvi
Berikut ini adalah ciri penting sistem ekonomi islam bagi Naqvi:
Hubungan harta didasari konsep perwalian
Naqvi meyakini bahwa bentuk kepemilikan harta yang tepat dalam Islam adalah bentuk perwalian, dimana harta itu merupakan titipan dari Allah S.W.T. dengan konsep inilah, individu hanya dapat menggunakan harta sewajarnya disertai pengawasan negara selaku wakil dengan wewenang yang lebih tinggi dari individu belaka.
Alokasi sumber dan pengambilan keputusan
Alokasi sumber daya yang lebih ideal bagi naqvi ialah alokasi yang diawasi negara dalam sebuah pasar dengan regulasi yang jelas dan teratur, bukan pasar bebas model kaum klasik. Bahkan jika diperlukan, naqvi menyarankan untuk melakukan kontrol pasar baik secara langsung maupun tidak langsung .
Jaminan sosial dan program antikemiskinan
Pengahapusan riba
Infaq


C. Pemikiran Ekonomi  Muhammad Baqir As Sadr
Sadr sendiri  lahir di Kadhimiyeh, Baghdad pada 1935. Ia sendiri sebetulnya  bukanlah ekonom, melainkan tokoh syi’ah terkemuka yang lebih banyak berkecimpung di hukum Islam. Kontribusi pentingnya bagi ekonomi Islam saat itu termuat dalam Iqtisaduna.
Adapun pemikiran penting Sadr sendiri antara lain:
Ekonomi Islam bagi Sadr
Sadr menyebut bahwa ekonomi Islam itu adalah “cara atau jalan yang dipilih oleh Islam untuk dijalani dalam rangka mencapai kehidupan ekonomi nya dan dalam memecahkan masalah ekonomi praktis sejalan dengan konsepnya tentang keadilan”. Dengan demikian, ekonomi Islam adalah sebuah doktrin karena membicarakan “semua aturan dasar dalam kehdupan ekonomi dihubungkan dengan ideologinya tantang keadilan (sosial). Implikasinya, ia menilai bahwa hanya dengan keberadaan penerapan sistem islam totallah sistem ekonomi islam dapat berjalan dengan semestinya.

Asumsi dasar bagi Sadr
Poin penting dari asumsi yang mendasari pemikiran Sadr antara lain:
Islamic  Man
Pembatasan terhadap individu
Kepemilikan swasta,publik,dan negara adalah secara simultan
Karakteristik  sistem ekonomi islam
Berikut ini adalah poin penting Sadr atas sistem ekonomi Islam.
Hubungan kepemilikan
“Kekhilafahan” menurut sadr dalam ekonomi
Pembatasan terhadap individu
Pokok pemikiran penting yang umum dan perkembangannya
Terlepas dari berbagai perbedaan pemikiran diantara para cendekiawan muslim karena beberapa hal, ada pula hal yang sama-sama dipikirkan dan mencetuskan agar hal tersebut diterapkan agar sistem ekonomi Islam sebagai sistem ekonomi alternatif dapat berjalan. Pokok pikiran itu antara lain:
Sistem ekonomi Islam mestilah dilandasai landasan filosofis yang khas
Landasan filososfis yang dimaksud disini ialah tauhid (keesaan), khilafah (perwakilan), ‘ibadah, taqwa, dan takaful (solidaritas). Jelas jika didasari landasan yang demikian, ekonomi Islam menjadi disiplin ilmu yang juga memiliki kaitan erat dengan prinsip agama Islam. Dan dengan eratnya dengan prinsip agama islam, berbagai masalah sosial ekonomi masyarakat dapat diminimalisir. Pelandasan ekonomi Islam dengan landasan-landasan tadi juga dapat menjadi pembeda antara ia dengan sistem ekonomi yang konvensional.
Selain dilandasi dengan landasan filosofis, ia mesi diperkuat dengan pendekatan-pendekatan yang lebih empirik dan ilmiah sehingga penerapannya menjadi lebih terarah. Upaya ekonom Islam seperti Naqvi, Siddiqi, Mannan ,dan sebagainya, yang berupaya memasukkan pendekatan ekonometri (yang dicetus oleh ekonom neoklasik) kedalam ekonomi Islam, memberi kontribusi penting di masa sekarang dimana pada akhirnya banyak ekonom islam dapat menganalisis secara makro dan mikro suatu perekonomian dan memberi solusi  yang sesuai dengan prinsip ekonomi Islam.
Konsep Khilafah dan kepemilikan
Mayoritas ekonom Islam sendiri sepakat bahwa  yang dimaksud Allah S.W.T. terkait khilafah itu ialah perwakilan, yakni manusia berposisi wakil-Nya di bumi. Mengingat statusnya sebagai wakil inilah, pada hakikatnya manusia tidaklah memegang seluruh harta di Bumi sebagai hak mutlak, melainkan sebagai “titipan” yang mesti dikelola untuk kemakmuran seluruh makhluk. Dengan memasukkan kekhilafahan dalam ekonomi islam, banyak ekonom muslim yang yakin bahwa ekonomi Islam akan semakin sehat dari segi persaingan tanpa harus mengekang pasar secara berlebihan ataupun membiarkan pasar bebas begitu saja.
Adapun terkait kepemilikan, mereka membagi kepemilikan atas milik pribadi, milik publik, dan milik negara, dalam proporsi  tertentu agar ekonomi tidaklah berhenti mengalir. Yang perlu diingat terkait kepemilikan pribadi disini ialah kepemilikan yang memang hanya pribadi itu saja yang memperoleh serta dapat diwariskan, bukan yang bersinggungan dengan milik orang lain. Tentu hal ini diperlukan agar mencegah terjadinya sengketa kepemilikan suatu kekayaan.

Masalah distribusi
Mayoritas para ekonom maupun para pemikir ekonomi Islam sepakat terkait:
Kekayaan tidak boleh berakumulasi di tangan orang-orang tertentu saja
Baik kerja maupun kebutuhan adalah sumber pendpatan yang sah
Dari sinilah, mayoritas ekonom Islam sepakat agar masalah distribusi ini sepatutnya mulai diperhatikan sejak awal, dimana seseorang memiliki pendapatan/ kekayaan awal, bukan dari hubungan permintaan-penawaran seperti yang dipaparkan neoklasik maupun Keynesian. Hal ini disebabkan adanya perbedaan yang sangat beragam antarindividu dari segi kekayaan awalnya. Bagi mereka, mesti ada regulasi yang mengatur distribusi awal ini agar pihak tertentu tidak mengambil cara yang mengeksploitasi pihak lain demi keuntungan diri semata. Tokoh yang paling vokal disini adalah Naqvi, yang mana ia menekankan pentingnya pembatasan kekayaan swasta serta distribusi kekayaan awal secara besar-besaran kepada mereka yang dapat memanfaatkannya secara produktif. 
Penerapan mekanisme ekonomi di masa kerajaan islam terdahulu dalam masa moderen
Disini banyak ekonom Islam yang setuju agar berbagai praktik ekonomi Islam di masa lampau kembali diterapkan dalam ekonomi saat ini. Praktik-praktik seperti Syirkah, Mudhabarah, Wilayatul Hisba, Suftaja, dsb. Dinilai jauh lebih baik untuk diterapkan ketimbang praktik ekonomi yang ‘sejenis’.
Implementasi Infaq; penghapusan riba
Penekanan yang paling sentral dari para ekonom Islam adalah: implementasi Infaq dan penghapusan riba. Banyak ekonom, terutama Naqvi dan Siddiqi, melihat bahwa riba sendiri memang menjadi “Instrumen ekonomi yang eksploitatif”, terlebih untuk bunga majemuk. Hanya saja, jika Siddiqi mengusulkan penerapan Mudharabah, maka Naqvi lebih menekankan nasionalisasi sistem perbankan yang disertai reformasi keuangan-struktural.
Adapun terkait infaq (termasuk didalamnya zakat) , banyak yang mengusulkan agar ia diterapkan dengan regulasi yang lebih efisien karena ia dapat meringankan negara dalam mengupayakan jaminan sosial bagi masyarakat bawah. Meskipun demikian, mereka kurang setuju jika infaq menjadi pengganti pajak karena di masa sekarang ini, jumlah perolehan infaq tidaklah cukup untuk membiayai semua jenis pengeluaran negara.

Tidak ada komentar